Prodi

PEMBERANTASAN KORUPSI KOMPREHENSIF

 

PEMBERANTASAN KORUPSI
KOMPREHENSIF

Oleh : Mustaqim

(Dosen STAIN Kudus

 

 

 Tampaknya memang sulit untuk memberantas korupsi di negeri ini, karena korupsi sudah menjadi “budaya” yang mengakar di pola hidup masyarakat kita. Namun, hal ini bukannya tidak mungkin, jika pemerintah mau serius dan komitmen terhadap upaya pemberantasan korupsi ini. Karena bagaimanapun, korupsi adalah konstruk budaya  (sistem) yang tercipta, tidak semata-mata takdir Tuhan.

Sampai detik ini, pemerintahan memang sudah berupaya untuk melakukan agenda pemberantasan korupsi. Tetapi sampai sekarang masih belum bisa melakukan pemberantasan korupsi secara komprehensif.  Bahkan beberapa kali kita dikagetkan oleh tindakan aparat hukum yang justru terjerembab terhadap praktik korupsi sendiri. Bahkan korupsi sudah masuk pada tiga pilar Negara, yakni eksekutif, legislative dan yudikatif.

Hal inilah yang menjadi kendala tersendiri bagi upaya pemberantasan korupsi. Di sisi lain, upaya pemberantasan korupsi belum mampu untuk menembus para koruptor secara riil. Terbukti masih banyak para koruptor yang “bergentayangan” di republik ini. Bahkan mereka terkadang tidak malu-malu muncul – atau memunculkan diri – ke publik (media). Sehingga sampai sini masih perlu upaya massif untuk tetap konsisten dengan agenda tersebut.

Secara sosial korupsi sangat berdampak serius bagi masyarakat luas. Karena bagaimanapun, praktik korupsi jelas berdampak pada kesejahteraan rakyat. Di antara dampak tersebut adalah: pertama, menipisnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah. Hal ini cukup beralasan, mengingat ketika pemerintah tidak mampu melaksanakan agenda dan persoalan krusial bangsa, maka secara langsung maupun tidak langsung akan mengurangi kepercayaan yang sudah terbangun. Karena pada dasarnya, kebanyakan masyarakat kita itu awwam, mereka lebih berorientasi pada produk (hasil) dari pada proses. Artinya mereka tidak mau tahu bagaimana mekanisme, teknik, upaya dan pelaksanaan riil yang telah dilakukan, namun bagaimana hasil yang telah dilaksanakannya.

Sehingga dengan adanya beberapa berita tentang  koruptor yang belum terjerat hukum, otomatis hal tersebut mengindikasikan bahwa produk pemberantasan korupsi masih gagal. Sampai sini membangun kepercayaan merupakan hal yang penting, mengingat rakyat senantiasa melihat sesuatu yang konkrit dan riil.

Kedua, rakyat semakin berani untuk bertindak melanggar hukum. Supremasi hukum yang tidak tuntas, seperti dalam agenda pemberantasan korupsi ini, menyisakan permasalahan baru yang juga krusial, yakni lemahnya kesadaran hukum. Hal ini kemudian berdampak pada “peluang” pelanggaran hukum semakin besar, atau setidaknya stagnan. Ketika masyarakat (baca: pejabat) melihat bahwa ternyata masih banyak koruptor yang lepas dari jeratan hukum, maka merekapun akan berani juga untuk korupsi, toh akhirnya pun mereka (tidak) dihukum. Sehingga pada tataran yang lebih luas, peluang mereka untuk melanggar hukum semakin besar.


Perlu Peran Masyarakat

Dari sini, kiranya harus ada upaya yang lebih serius untuk melaksanakan agenda pemberantasan korupsi ini. Hal itu tentunya tidak hanya di lakukan oleh aparat pemerintah an sich. Peran dan partisipasi masyarakat luas dalam hal ini sangat menentukan keberhasilan agenda ini. Karena, masalah korupsi sekarang ini sudah mendarah-daging di kalangan masyarakat kita. Secara empiris, sekarang ini kita sulit membedakan antara praktik korupsi dan tidak. karena praktik korupsi sekarang ini dikemas dengan modus yang menarik, yang tidak tercium gelagat korupsi.

Maka mau tidak mau semua pihak, baik itu aparat maupun masyarakat harus “satu komando” untuk melakukan pemberantasan korupsi. Minimal dalam hal ini, kita membantu melakukan pengawasan terhadap pemberantasan korupsi, karena korupsi berpeluang dilakukan oleh semua pihak, termasuk aparat pemberantas korupsi itu sendiri. Kejahatan – termasuk di dalamnya korupsi – menurut teori, terjadi karena  dua faktor, niat dan kesempatan. Di sini pengawasan yang dilakukan oleh semua pihak minimal mampu meminimalisir kesempatan-kesempatan yang ada untuk melakukan korupsi.

Berikutnya, hal yang tidak boleh dilupakan adalah upaya melakukan perbaikan sistem. Kita tahu bahwa budaya korupsi boleh jadi adalah produk sistem yang tercipta pada masa lalu. Sehingga sistem yang berpeluang melahirkan praktik korupsi harus didekonstruksi (dirubah total) atau setidaknya direkonstruksi (ditata ulang). Karena, sebaik apapun aparat pemberantas korupsi, kalau sistem yang dipakai masih berpeluang untuk  korupsi, niscaya upaya pemerantasan akan tetap mengalami kegagalan. Kita boleh  bangga, dengan apa yang telah dilakukan oleh pemerintahan sampai saat ini. Tetapi itu tidak cukup, harus ada upaya yang lebih komprehenshif dan serius dalam pemberantasan korupsi.

Artikel ini pernah dimuat di Beritasatu.com, Rabu, 6 Februari 2013
Share this Post: