Prodi

Jangan Palsukan Kegembiraan di Bulan Suci Ramadhan

Oleh Dr. H. Abdul Karim, M.Pd.

Ahmad salah seorang santri sedang bermain dan bersendau  gurau bersama teman lain di beranda depan sebuah mushalla tempat tinggal mereka. Sembari tertawa dengan setengah berteriak ia mengatakan,”Ramadhan tiba, ramadhan tiba hore asyik”. Teman lainnya sepontan membentak, “Hei jangan berteriak seperti itu”. Ahmad menimpali, kenapa kamu tahu tidak, menyambut datangnya bulan suci ramadhan kata guru saya harus bergembira. Imbuhnya lagi, “barang siapa bergembiran saat tibanya bulan Ramadhan maka Allah akan mengharamkan tubuhnya terkena api neraka”. Karena merasa tidak memiliki bahan untuk dapat mengimbangi ucapan Ahmad,  temannya itupun terdiam dengan menahan umpatan dalam hati.

            Sering kita mendengar pembicaraan seperti kasus di atas, yang sesungguhnya merupakan maksud dari sebuah Hadits,”Barang siapa bergembira saat tibanya bulan Ramadhan, maka Allah akan mengharamkan jasadnya masuk neraka. Tanpa memperdebatkan apakah Hadits tersebut termasuk Hadits Shohih atau Dloif, seharusnya dipahami bahwa menyambut tibanya bulan yang penuh ampunan (maghfirah)  serta berlipat ganda pahala bagi yang melakukan kegiatan baik dan sesuai  syariat di bulan tersebut, patut bergembira.

            Dalam konteks ramadhan, bergembira paling tidak memiliki pemahaman: pertama, bergembira menyambut datangnya ramadhan berarti bersedia mempersiapkan secara fisik dan mental untuk siap melakukan amalan yang dianjurkan. Melaksanakan ibadah yang membutuhkan tenaga seperti shalat fardhu, tarwih, baca al-Qur’an, termasuk ibadah sosial seperti mencari rizki, membantu sesama bagi yang membutuhkan. Tentunya sehat secara mental juga diperlukan untuk mensupport fisik agar mendapatkan keseimbangan dalam melaksanakan ibadah.

            Kedua, bersedia melaksanakan semua amalan yang disyariatkan termasuk ibadah sosial seperti bershadaqoh serta  ibadah sosial lain. Bentuk kegembiraan sosial merupakan ekpresi umat dalam meningkatkan rasa kepedulian untuk merespon permasalahan yang membutuhkan uluran bantuan, sehingga terbentuk keadilan dan kesetaraan dalam kehidupan. Ketiga, sikap ihlas merupakan bentuk penyerahan diri secara total kepada Allah. Menyadari bahwa segala yang dimiliki dan dikuasai saat ini oleh manusia hakekatnya adalah milik Allah, ketika digunakan kembali untuk mengabdi hanya untuk kepentingan beribadah itu artinya manusia telah berbuat ihlas.

            Mendapatkan kembali bulan suci ramadhan berarti peluang untuk memperoleh kesempatan membersihkan diri dari segala noda dan khilaf menjadi nyata. Selanjutnya sangat tergantung pada kualitas diri dalam menggerakkan pemahaman soal keberkahan bulan ramadhan untuk berbuat sesuai anjuran syariat, itu menjadi realisasi dari  kegembiraan. Dalam beragama, bergembira dianalogikan dengan luapan rasa syukur atas semua nikmat yang telah Allah limpahkan kepada umat. Tindak lanjut dari bersyukur: berjanji dalam hati untuk tidak lagi melakukan tindakan dosa yang pernah dilakukan selama ini.

            Selanjutnya akan menggerakkan semua anggota tubuh melakukan tindakan sesuai fungsi utama menurut agama.  Nabi pernah mengingatkan, bahwa banyak diantara puasa kita yang hanya mendapatkan rasa haus dan lapar karena tidak dapat mengendalikan rasa kegembiraan di bulan suci ramadhan, sehingga tidak mendapatkan pahala apapun dari Allah. Tentunya hal tersebut disebabkan oleh kelalaian dalam menempatkan perasaan kegembiraan sebagai ekspresi pengendalian perasaan spiritual, menjadi pendorong munculnya luapan nafsu yang berlebihan.

Luapan kegembiraan yang diperlihatkan oleh anak-anak santri, sesungguhnya merupakan bentuk luapan yang membanggakan ketika itu diposisikan sebagai symbol datangnya bulan suci ramdhan, sehingga syiar agama menjadi terus berkelanjutan, semoga !

Share this Post: