Prodi

Esensi Puasa Adalah Kejujuran Diri

Oleh Abdul Haris Naim, S.Ag., M.H.

Hendaklah kamu selalu jujur, karena kejujuran itu akan membawa kepada kebaikan dan kebaikan itu akan membawa ke dalam Syurga”.(HR. Bukhari dan Muslim)

Berbeda dengan ibadah-ibadah lainnya, puasa adalah ibadah yang sangat rahasia (sirriyah). Dikatakan sirriyah karena yang mengetahui seseorang melakukan ibadah puasa atau tidak adalah orang yang bersangkutan dan Allah SWT. Dengan demikian, ibadah puasa adalah salah satu media yang melatih seseorang untuk berlaku jujur.

Dalam kondisi apapun, kita tidak akan makan dan minum walaupun orang-orang tidak melihat kita makan dan minum karena kita yakin dan percaya bahwa Allah pasti akan melihatnya. Orang yang benar-benar melaksanakan ibadah puasa sedang dilatih untuk menyadari kehadiran Tuhan dalam hidupnya. Segala aktifitas pasti diketahui dan diawasi oleh Allah SWT. Bila keyakinan ini terus menerus dijaga dengan baik, bukan tidak mungkin “madrasah ramadhan” akan membentuknya menjadi manusia yang jujur. Jika nilai kejujuran ini sudah terbentuk dalam jiwa manusia, maka tidak akan terjadi penyimpangan moral dalam tata pergaulan sosial, politik dan ekonomi.

Contoh kecil ketidakjujuran adalah berkaitan dengan banyaknya dokter atau tenaga medis yang terpapar virus corona. Bukankah tenaga medis ini sudah mengikuti aturan kesehatan dengan baik, tapi kenapa juga mereka  bisa terpapar virus corona? Jawabannya adalah karena adanya pasien yang berobat dengan menyepelekan kejujuran. Mereka (pasien) tidak jujur kepada dokter atau tim medis bahwa dia baru pulang dari daerah yang terjangkiti wabah Covid-19. Sehingga dokter dan tim medis menangani pasien ini dengan cara-cara biasa terhadap pasien yang sakit tanpa memakai APD yang telah dipersiapkan.

Selama bulan ramadhan, ada orang yang menjadi manusia yang ahli ibadah. Dia tidak hanya rajin puasa, tapi juga rajin taraweh dan juga rajin membaca Al-Quran. Namun, apa yang dilakukan ini hanya palsu belaka. Ibadah puasanya tidak pernah mengantarkannya menjadi manusia yang bertaqwa kepada Allah. Bacaan Al-Quran yang dilantunkannya selama bulan puasa tidak pernah membekas dan tidak pernah dipahaminya untuk merobahnya kepada hal yang lebih baik.

Padahal baginda Muhammad SAW pernah bersabda: “Orang mukmin yang membaca Al-Quran ibarat jeruk manis, baunya harum dan rasanya enak. Orang mukmin yang tidak membaca Al-Quran ibarat kurma, rasanya enak tapi tidak ada baunya. Orang munafik yang membaca Al-Quran, ibarat minyak wangi, baunya harum tapi rasanya pahit. Sedangkan orang munafik yang tidak membaca Al-Quran ibarat buah kamarogan (Handhalah), tidak ada baunya dan rasanya pahit”. (H. R. Bukhari dan Muslim)

Yang dimaksud dengan muslim jeruk manis adalah “Orang Islam yang membaca dan  juga hafal Al-Quran, memahami  isi  kandungannya  serta juga mengaplikasi  perintah Al-Quran dalam kehidupan sehari-hari. Muslim kurma adalah orang Islam yang mengamalkan  ajaran Al-Quran kendati dia tidak hafal Al-Quran. Muslim minyak wangi (parfum) adalah orang Islam yang bisa baca Al-Quran, menghafalnya tapi tidak mau mengamalkan  ajaran Al-Quran. Sedangkan  muslim  buah kamarogan  adalah  muslim yang tidak pernah membaca Al-Quran dan tidak pula mengamalkan isinya”.

Ada orang yang bukan tidak berpuasa dan juga tidak membaca Al-Quran, tapi puasanya itu hanya sekedar rutinitas atau tradisi belaka. Semestinya, puasa di bulan ramadhan bisa menjadi wadah untuk menghadirkan individual yang religius dan menumbuhkan kesadaran bersama untuk meningkatkan nilai-nilai kejujuran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Share this Post: