Prodi

URGENSI PENDIDIKAN NEGARAWAN BAGI PEREMPUAN

Blog Single

URGENSI PENDIDIKAN NEGARAWAN BAGI PEREMPUAN

Berita Hasil Seminar Nasional Islam dan Gender

 

 Perempuan menjadi negarawan. Mengapa tidak? UU Nomer 2 Tahun 2008 tentang Partai yang menegaskan perlunya kaidah demokrasi menjunjung tinggi keadilan, tanggung jawab, dan perlakuan yang tidak diskriminatif dalam NKRI antara lain dengan kebijakan quota 30 % belum terwujud sebagaimana mestinya. Hal ini dibuktikan  antara lain dalam Pemilihan Legislatif 2014 keterwakilan perempuan belum menunjukkan tanda yang menggembirakan.

Dalam jurnalperempuan.com menyebutkan, jumlah perempuan yang terpilih menjadi anggota legislatif 2014 hanya 79 orang, atau 14%. Padahal periode yang lalu, jumlah perempuan anggota DPR lebih dari 100 orang dengan prosentase 18%. Jadi ada penurunan 4 %.

Mengapa kaum perempuan belum mendapatkan ruang politik yang cukup sebagaimana yang diinginkan oleh aturan perundang-undangan dan para pembela hak perempuan? Kegelisahan inilah yang melatar belakangi Pusat Studi Gender (PSG) STAIN Kudus menggelar Seminar Nasioanal dengan tema: “Politisasi Gender dan Hak-hak Perempuan”, pada tanggal 12 Nopember 2014 lalu.

Nur Said MA, salah satu narasumber yang juga Ketua PSG STAIN Kudus menyoroti bahwa akar sejarah politisasi gender dan atau perempuan selalu terjadi selama berbenturan dengan politik praktis. Ia mencontohkan ketika RA Kartini menjadi melegenda sejak terbitnya buku: Habis Gelap Terbitlah Terang  di era kolonial juga tak lepas dari kepentingan politik etis. Demikian juga diangkatnya Kartini sebagai pahlawan pada era Orde Lama juga sarat tekanan dari kelompok yang memiliki bargaining position pada saat itu. Lebih jauh ia juga membandingkan kasus Mbok Nasilah sang perintis rokok kretek klobot di Kudus, yang justru tenggelam dibalik popularitas Nitisemito, suaminya, yang sesungguhnya adalah sebagai penerusnya. Hal ini tak lepas dari politik tanda budaya dalam berkontestasi di ruang publik yang sarat dengan budaya patriarkhis. Stigma kaum perempuan sebagai kelas dua telah turut mengkonstruksi perempuan sekedar sebagai obyek, termasuk dalam dunia politik.

Maka Prof Irwan Abdullah, Guru Besar dari UGM Yogyakarta, dalam konteks meningkatkan partisipasi perempuan di dunia politik, perlu membongkar konstruksi budaya patriarkhis antara lain bisa dilakukan dengan Pendidikan Negarawan bagi kaum perempuan secara intensif dan terencana agar siap menjadi pemimpin. Menurutnya, ketidakhadiran kaum perempuan secara memadai dalam ruang politik merupakan pengingkaran terhadap fakta historis yang mencatat bahwa pemimpin masa lalu di berbagai kerajaan dan tempat adalah kaum perempuan dan bahkan diyakini kepemimpinan perempuan menjadi model suatu sistem pemerintahan. Hal ini bisa dilihat pada konsistensi Ratu Syima dari Kerajaan Kalingga yang dikenal sebagai penegak hukum (law inforcement) yang tegas dan juga Ratu Kalinyamat dari keturunan Kesultanan Demak yang secara heroik memimpin pasukan menyerbu penjajah Portugis di Malaka.  

Hal ini juga diamini oleh pembicara ketiga, Dra. Jauharatul Farida, M.Ag., dari aktivis gender dari UIN Walisongo Semarang. Secara khusus beliau memprihatinkan atas problematika bias gender yang sering terjadi dalam keluarga. Kesadaran keluarga sebagai madrasah pertama harus selalu dikembangkan dengan perspektif gender. Lebih jauh terkait hal ini, Nur Said MA, yang juga konsen pada filsafat budaya menambahkan bahwa adigium Jawa bahwa perempuan sebagai konco wingking, atau suargo nunut neraka katut perlu dimaknai ulang. Falsafah Jawa tersebut bukan berarti tidak relevan, tetapi pemaknaannya perlu ditafsir ulang dan perlu dilihat konteksnya. Bisa saja hal itu sebagai wujud kesetiaan puncak yang harus dimiliki oleh setiap pasangan agar harmoni terbangun selama hayat masih di kandung badan. Dalam kultur Jawa juga sering menekankan pentingnya saling mengalah; dari kata Ngallah=NgAllah, yaitu landasi hidup bersama sebagai wujud cinta kepada Allah dalam hidup berumah tangga.

Maka, ketiga pembicara sepakat pentingnya menyemaikan spiritualisme dalam keluarga yang sensitif gender. Artinya ketika ruang untuk berkiprah di dunia publik terbuka luas bagi perempuan, urusan keluarga tidak bisa diabaikan begitu saja agar tidak mengalami disorientasi hidup. Pendidikan keluarga adalah tiang negara. Dari pendidikan keluarga lalu ditindaklanjuti dengan pendidikan negarawan yang sistemik, diharapkan akan terlahir generasi yang mampu memimpin secara etik (baik) dan estetik (elok) sebagaimana diimpikan oleh Plato dalam magnum opusnya Republic

Seminar ini juga dimeriahkan dengan 22 paper pendukung dari peserta yang dipresentasi pada siang harinya. Tradisi akademik seperti ini merupakan tahun kedua dan akan selalu dikembangkan seiring dengan isu-isu terkini sebagai wujud kepekaan para akademisi atas isu-isu aktual terutama terkait gerakan ketidakadilan gender yang membutuhkan solusi cepat dan tepat dengan spirit Islam tentunya. Selamat bergabung pada forum harmoni gender di PSG STAIN Kudus tahun depan.
Share this Post: