Prodi

PEREMPUAN, TAFSIR KEBENCIAN DAN RADIKALISME

Nur Mahmudah

Ka PSG IAIN Kudus

Peristiwa Bom di Jawa Timur yang melibatkan perempuan dan anak pada awal Ramadhan tahun ini menyentakkan banyak pihak dan membuat luka yang mendalam bagi kemanusiaan dan setiap pemeluk agama. Cermin Indonesia yang berwajah damai terkoyak karena tindakan radikalisme sekelompok orang yang mengatasnamakan agama. Terorisme dan radikalisme tidak lagi berjarak dari kita, tidak terjadi di belahan dunia lain, tetapi di sini, di Surabaya, di Sidoarjo, di Bali, di Jakarta, ia sangat dekat. Sebagai sebuah tindakan atas nama agama, maka tindakan ini dipicu oleh pemahaman atas sumber-sumber otoritatif agama yang digunakan sebagai pemantik. Sikap radikal dan Intoleransi menurut temuan dari Wahid Foundation (2018) disebabkan oleh pemahaman dan tafsir agama yang salah ketimbang faktor ekonomi dan psikologi, jadi kesimpulannya ada yang salah dalam cara bertafsir (sebagian kita). Sebagian kita  membaca al-Qur’an dan memaknainya secara salah, Nah lhoo. Lalu di mana salahnya dan bagaimana bisa menjadi salah? 

Tafsir dalam kajian keIslaman merupakan upaya untuk memberikan makna bagi al-Qur’an yang memadukan hasil baca atas dua lapis, ma’na dan maghza. Makna adalah makna yang bersifat tetap yang dapat dipahami dari teks, sementara maghza adalah makna utama (signifikansi) yang bersifat dinamis dari teks sebagai hasil baca penafsir dengan konteks kontemporer yang melingkupinya. Tafsir yang memadukan antara makna dan maghza diharapkan mampu menghasilkan tafsir yang moderat (Sahiron, 2010). Sebagai contoh jika kita menganalisis ayat Q. Al-Hajj (22):39 yang berbunyi :

أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ

 “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Sesungguhnya Allah benar-benar maha Kuasa menolong mereka itu.

Memaknai ayat ini tidak dapat hanya mengandalkan makna literalnya bahwa Allah memberikan ijin untuk memerangi orang-orang kafir lalu selesai. Ayat ini harus dibaca dengan menerapkan moderasi penafsiran yang memadukan makna ayat yang tersurat (ma’na) dan upaya menyingkap makna utama di balik ayat (maghza). Makna utama ayat ini adalah pertama kebolehan untuk memerangi pihak lain karena adanya penindasan/kezaliman sebagai solusi terakhir. Setelah penyerangan yang dilakukan oleh orang kafir, maka kaum muslimin tidak lagi punya pilihan setelah mereka menempuh jalan lain seperti bersabar dan memaafkan. Konteks ini dapat ditemukan melalui penjelasan atas asbabun nuzul (latar belakang) ayat yang dimuat berbagai kitab tafsir (Sahiron, 2013). Juga menurut penulis, konteks ini diperkuat oleh kandungan ayat sebelumnya yaitu ayat 38 juga menjanjikan janji allah untuk membela orang-orang yang teguh dalam keimanan pada-Nya. Maka dalam kerangka itulah, kebolehan berperang itu harus dipahami. Makna utama kedua, ayat ini jika dihubungkan dengan ayat setelahnya memiliki makna utama jaminan kebebasan melaksanakan agama perlu ditegakkan. Dengan demikian ayat ini tidaklah dapat dipahami sebagai keharusan atau perintah berperang tetapi keberpihakan kepada perdamaian dan situasi harmonislah yang dikedepankan. Makna ini diperoleh dengan menghubungkan penafsiran ayat ini dengan ayat perintah berperang yang lain dimana Nabi bahkan memberikan ketentuan khusus atas pihak musuh mana sajakah yang tidak boleh diperangi. Artinya semangat pokok al-Qur’an bukan memerintahkan perang tetapi sebaliknya, menciptakan perdamaian.

Jika pemahaman secara literal saja berpotensi pada penyimpangan, maka apalagi pemaknaan ayat secara instan melalui terjemahan berpotensi pada kesalahan pemahaman karena belum lengkapnya piranti dalam menyingkap ayat. Dan ayat-ayat yang memerlukan pengkajian panjang ini banyak ditemukan dalam al-Qur’an seperti bagaimana memaknai konsep jihad, syahid, hijrah, thaghut, jahiliyyah, qital, amar ma’ruf nahi munkar dan hukmullah.  

Pemahaman yang benar atas konsep-konsep tersebut menjadi penting karena berkaitan dengan realitas keragaman yang ada di Indonesia. Konsep-konsep ini bersinggungan dengan bagaimana cara berelasi dengan  kelompok yang dipersepsikan berbeda baik satu akidah maupun yang berlainan. Dalam relasi ini, seringkali tafsir memuat terdapat semacam psikologi kebencian dan kemarahan terhadap kelompok lain sehingga dapat kita sebut sebagai tafsir kebencian. Kebencian yang mucul karena adanya klaim kebenaran sepihak (truth claim). Psikologi kebencian ini dapat ditemui dalam pandangan radikal dan intoleran. Pada gilirannya perempuan (dan laki-laki) yang menjadi konsumen tafsir kebencian menghasilkan pandangan dan perilaku intoleransi dan radikal. Padahal perempuan dalam survei Wahid Foundation memiliki lebih sedikit kelompok yang tidak disukai 53,3 persen, dibanding laki-laki 60,3%. Ini artinya perempuan sejatinya lebih toleran dan lebih menyukai perdamaian. Agar perempuan tidak terkepung dengan tafsir kebencian, ia harus dibebaskan. Tafsir kebencian ini laksana api dalam sekam, sehingga harus dipadamkan sebagaimana judul yang ditulis Shahrur untuk bukunya tentang kontra radikalisme ini, tajfif manabi’ al-irhab, memadamkan sumber penebaran ketakutan.  Bagaimana cara memadamkannya? Salah satunya dengan melakukan counter wacana melalui pembacaan yang moderat, tafsir moderat. Tidak hanya memproduksi tafsir moderat tetapi tahap lanjutan yang juga menjadi pekerjaan rumah adalah juga bagaimana mensosialisasikan moderasi tafsir dalam nadi dan tarikan nafas.  Dan PTKIN menjadi tempat berlabuhnya harapan. Wallahul Musta’an.

Share this Post: