Prodi

MENJADI PEREMPUAN MENJEMPUT LAILATUL QODAR

Nur Said

Peneliti Akidah dan Filsafat Islam, IAIN Kudus

Email: nursaid@stainkudus.ac.id

 

 

“Maa Syaa Allah...Maa Syaa Allah....Maa Syaa Allah. Malam ini adalah Malam Jum'at yg bertepatan dengan malam ganjil ( 23) di 10 terakhir bulan Ramadhan. Bertekatlah dan persiapkan dirimu utk beritikaf malam ini...Jangan lupa bawa lah anak2 lelaki mu, saudara dan kerabatmu agar engkau mendapatkan pahala dari amalan2 yg mereka lakukan.”

 

Potongan kutipan di atas adalah viral himbauan dari suatu WAG kepada pembaca agar segera bergegas mempersiapkan diri menjemput Lailatul Qodar. Umat Islam yakin betapa istimewanya Lailatul Qodar, malam seribu bulan. Setiap umat Islam, muslimin maupun muslimat tentu disarankan untuk menjemputnya.

Namun yang menggelitik hati penulis adalah pada pesan bagian akhir: “Jangan lupa bawa lah anak2 lelaki mu...”, seakan-akan pesan Lailatul Qodar hanya haknya untuk kaum laki-laki.

Tentu masih segar dalam ingatan, kalau singgah di berbagai masjid-masjid Agung peninggalan para wali di sepanjang pantura selalu dilengkapi palastren atau ada yang menyebut pawestren, yaitu bagian masjid yang diperuntukkan sebagai ruang ritual atau i’tikaf bagi kaum perempuan. Hal menunjukkan bahwa para Walisanga begitu ramah perempuan dalam membangun konstruksi masjid pada zamannya beberapa abad yang lalu, melalui keberadaan palastren tadi. Inilah yang mengilhami nama “palastren” sebagai nama jurnal studi gender di IAIN Kudus sejak 10 tahun yang lalu. 

Lalu dimana posisi perempuan dalam meraih Lailatul Qodar. Hal ini menarik untuk dijadikan bahan renungan.

Perempuan, the mother of God

Secara ekplist dalam QS. Al Qodr disebutkan bahwa Lailatul Qodar turun pada malam hari. Al Qur’an juga diturunkan pada malam hari. Dalam dimensi waktu, malam adalah perempuan dan siang adalah laki-laki. Maka dalam lima waktu shalat hampir semuanya malam hari kecuali Dzuhur dan  dan Ashar pada siang hari. Demikian juga shalat tahajud, shalat tasbih lebih direkomendasikan pada malam hari. Mengapa lagi-lagi karena malam adalah perempuan dengan sifat-sifatnya yang hening penuh kelembutan.

Menurut Ibn’ Arobi seperti diuari Corbin (2002) dengan bahasa sastra yang tinggi menilai para ahli mistik akan memperoleh visi teofanik yang tertinggi dalam perenungan wujud feminim. Para mistik Islam secara esoteris menuju penampakan sang perempuan abadi sebagai bayangan Tuhan. “Perempuan adalah seberkas Cahaya Ilahi//Dia bukanlah wujud yang menjadi sasaran nafsu//Dia adalah Pencipta, baiknya disebut begitu//Dia bukanlah Makhluk.” Demikian Ibn’ Arobi..

Lebih dalam lagi Jalaluddin Ar-Rumi, inspirator Ibn’ Arobi, menarasikan dengan begitu indah: “perempuan adalah tipe terluhur dari keindahan di bumi, namun keindahan di bumi ini tak ada artinya kecuali menjadi manifestasi dari keindahan ilahi. Ketahuilah bahwa Tuhan tak mungkin direnungkan terlepas dari wujud kongrit dan ketahuilah bahwa Dia terlihat secara lebih sempurna dalam wujud manusia daripada dalam wujud lainnya, dan lebih sempurna dalam wujud perempuan daripada dalam laki-laki” (Cobin, 2002).  

Inilah mengapa barangkali Gus Mus pernah melukis goyang Inul beberapa tahun yang lalu dengan judul “berdzikir bersama inul”. Sebuah lukisan yang menuai polemik karena di situ digambarkan “goyang ngebor” Inul, sementara di sekelilingnya gambar sosok bersurban dan berpecis bak sedang berdzikir. Bisa jadi hal ini sebagai upaya manifestasi wujud  menuju penampakan sang perempuan abadi sebagai bayangan Tuhan tadi yang diupayakan oleh Gus Mus.

Tanggalkan kelaki-lakian menjemput Lailatul Qodar

Maka, kalau ingin mendekatkan diri kepada Tuhan, termasuk keinginan untuk meraih Lailatul Qodar menjadi penting memiliki kesadaran batin perempuan (feminitas); yaitu kasih sayang, lembut, pema'af dan heningkan diri taqarub ilallah di sepertiga malam. Tentu hal ini tidak menafikan pentingnya nilai-nilai maskulinitas seperti menaklukkan, menguasai, dan mengekploitasi sebagai suatu keselarasan (Umar, 2009).

Sebagai perbandingan kisah ketika Rasulullah ditanya seorang Sahabat; “Siapa orang yang lebih berhak untuk dihormati?” Rasulullah menjawab : Ibumu sampai 3 kali;  kemudian siapa?, Rasul menjawab:   “Bapakmu“.  Maka bisa dipahami kalau “Syurga di bawah telapak kaki ibu, Sang Perempuan penjaga cinta.  

Maka doa perempuan lebih makbul daripada lelaki karena sifat penyayangnya yang lebih kuat daripada lelaki. Inilah mengapa Allah menitipkan janin bayi dalam rahim seorang Ibu. Dalam rahim itulah tempat paling aman, paling tenang, dan yang jelas di rahim itu ada selimut cinta kasih ibu yang tak terkira. Bagai sang surya menyinari dunia. Mari belajar “menjadi perempuan” untuk menggapai Lailatul Qodar dan sekaligus untuk membumikan Islam ramah di bumi nusantara.

 

 

Sumber Inspirasi

Al Qur’an dan Hadis

Corbin, Henry, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibn ‘Arabi, (Yogyakarta: LKIS, 2002)

Umar, Nasaruddin, “Kualitas Maskulin Feminin dalam Sifat-sifat Tuhan” Republika, 5 Februari 2009

Share this Post: