Prodi

Aji Waktu Bersyukur di Bulan Ramadhan

Oleh: Taufikin, M.S.I.

Syukur merupakan bentuk terima kasih dari seorang hamba kepada Allah SWT atas nikmat-nikmat yang telah dianugerahkan. Dalam kajian Islam Terapan, syukur tidak hanya berhenti dalam tataran lisan, tetapi harus berbentuk keberagamaan konkrit, tidak lagi sekedar membiasakan setiap hari, tetapi menunjukkan keterampilannya.

Keterampilan keberagamaan khususnya dalam hal bersyukur, dapat kita lihat dalam Al Qur’an: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (QS. Ibrahim (14): 7). Ayat tersebut memberikan dua posisi pada manusia, Pertama, menambah nikmat bagi hamba yang bersyukur, kedua, memberikan siksa berat bagi pengingkar nikmat.

Sebagai hamba yang ingin menunjukkan keterampilan bersyukur, tentu menjadi lebih banyak peluang khususnya bulan Ramadhan. Sebagai contoh adalah nikmat kesehatan. Manusia tidak boleh berhenti dalam lisan, sekedar mengucapkan “alhamdulillah” karena telah diberikan kesehatan, tetapi harus dilanjutkan dengan amal konkrit. Seperti konstruksi iman yang merupakan satu kesatuan antara hati, lisan dan perbuatan, maka jika hanya dalam lisan belum dapat dikatakan sebagai wujud konkrit perbuatan. Dalam Al Qur’an, Hadits maupun kajian-kajian ulama, telah menjelaskan betapa luar biasa pahala di bulan Ramadhan, mulai dari keterampilan puasa, tadarus al Qur’an, Sahur, berbuka puasa, shalat Tarawih, Qiyamullail, dzikir, kehebatan lailatul Qadr dan lain sebagainya.

Sejatinya bahwa ibadah-ibadah tersebut adalah bentuk keterampilan syukur kita kepada Allah SWT, sebab, jikapun kita beribadah dua puluh empat jam non stop seumur hidup, tak akan mampu membalas nikmat Allah SWT yang telah diberikan kepada seorang hamba. Mengapa demikian? karena perbandingan ini amat jelas bahwa ibadah kita dapat kita hitung, sementara nikmat Allah SWT tak akan pernah bisa kita hitung, bagaimana mungkin sesuatu yang terhitung melebihi sesuatu yang tidak terhitung?. Hal ini diperjelas dalam al Qur’an bahwa: “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, Allah benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang. (QS. An-Nahl, 18).

Jika seorang hamba beribadah siang malam seumur hidup saja tak mampu membalas nikmat Allah SWT, bagaimana jika seorang hamba mengingkari nikmat? Maka layak jika pengingkar nikmat mendapatkan adzab yang berat. Keterampilan syukur berupa ibadah puasa, tidak hanya dibalas oleh Allah dengan ampunan dosa, pahala dan kebahagiaan, tetapi juga akan bertemu dengan Allah SWT, demikian juga ibadah lain yang pahalanya dilipatgandakan. Bahkan di bulan Ramadhan, bulan munculnya lailatul Qodr, suatu malam yang lebih baik daripada 1000 bulan dan paling tepat untuk memperbanyak Ibadah sebagai rasa syukur. Ibadah mahdzah maupun ghoiru mahdzah sebagai bentuk konkrit syukur kita kepada Allah SWT terutama pada ramadhan ini menjadi lebih bermakna ketika diikuti dengan ikhlas, semata-mata hanya mengharap ridha Allah SWT. Sehingga tujuan Allah SWT mewajibkan mu’min untuk berpuasa dapat tercapai, yaitu menjadi muttaqin. Dengan demikian, penting untuk direnungkan bahwa tidaklah patut kita menyiakan waktu Ramadhan, sementara amalan ibadah sebagai bentuk syukur kita kepada Allah SWT tak akan mampu mengimbangi nikmat-nikmat-Nya.

Share this Post: