Prodi

Puasa Penangkal Hoax dan Arogansi

Oleh Ahmad Fatah, M.S.I

Secara tekstual, Alquran mengistilahkan puasa dengan istilah al shaum dan al shiyam. Dua istilah tersebut sering dipertukarkan (interchangeable), karena memang memiliki kesamaan, namun sekaligus memiliki perbedaan. Al shaum disebutkan sekali, yaitu dalam surah Maryam ayat ke-26: ”fakuli wa-syrabi wa qarri ‘ainan fa imma tarayinna min al-basyar ahadan faquli inni nadzartu li al-rahman shauma, fa lan ukallima al-yauma insiyya”. Artinya: “Makan, minum, dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seseorang, katakanlah, “Sesungguhnya aku telah bernazar shaum untuk Tuhan Yang Maha Pemurah; aku tidak akan berbicara dengan seorang pun pada hari ini.”Jumhur mufassir mengartikan kata shauma dengan al shamt (perihal diam, perihal tidak berkata-kata—menahan diri dari berkata-kata). Arti itu dipertegas dengan kalimat berikutnya: fa lan ukallima al-yauma insiyya. Aku tidak akan berbicara dengan seorang pun pada hari ini. Dalam kamus Lisan al-‘Arab karya Ibnu al-Mandzur, “shaum” artinya “tark al-tha’am wa al-syarrab wa al-nikah wa al-kalam” atau “tak makan, minum, berhubungan intim, dan berkata-kata”. Dalam konteks diatas, Ibu Nabi Isa—Maryam as.—ketika membawa putra beliau Isa as. di hadapan kaumnya, dipesan Allah agar melakukan shaum, yakni menahan diri tidak berbicara menyangkut kelahiran putra yang lahir tanpa ayah itu.

Sedangkan al shiyam dalam Alquran disebutkan sembilan kali dalam tujuh ayat, termasuk yang terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat ke-183: “ya ayyuhalladzina amanu kutiba ‘alaikum al-shiyam kama kutiba ‘alalladzina min qablikum la’allakum tattaqun”. Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian”. Al shiyam juga terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat ke-187 (disebut dua kali), surah Al-Baqarah ayat ke-196 (disebut dua kali), surah Al-Nisa ayat ke-92, surah Al-Maidah ayat ke-89,surah Al-Maidah ayat ke-95, dan surah Al-Mujadalah ayat ke-4.

Seluruh kata “shiyam” di ketujuh ayat Al-Quran itu bermakna puasa secara fikih, yaitu tidak makan, tidak minum, dan tidak berhubungan intim sejak tiba waktu subuh hingga jumpa waktu maghrib—sebagaimana puasa yang sedang kita kerjakan pada Ramadan ini.

Shiyam Ramadhan dilaksanakan pada waktu tertentu dan masa tertentu, yakni hanya sebulan di siang hari,  sedang  shaum hendaknya dilaksanakan sepanjang tahun, bahkan sepanjang masa hidup sejak bangun tidur sampai tidur. Rasul berpesan: “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, maka hendaklah dia berucap yang baik atau diam saja.”

Menjaga lidah dari ucapan buruk adalah sesuatu yang sangat penting, lebih-lebih di bulan Ramadhan ini. Karena itu, Rasul berpesan: “Kalau salah seorang di antara kamu berpuasa lalu ada yang memakinya, maka hendaklah dia  berucap: Ya Allah, aku berpuasa.” Maksudnya, hendaklah dia menanamkan dalam benaknya bahwa shiyam atau shaum melarangnya untuk mengucapkan sesuatu yang buruk. Hal inilah yang menurut Prof Quraish Shihab dalam bulan Ramadhan ini kita melakukan puasa berganda, sekali dengan shiyam dan di kali lain dengan shaum. Dengan demikian, idealnya puasa mampu sebagai penangkal hoax. Baik menjaga lidah dari ucapan buruk dan bohong, sekaligus berarti tidak menyebar kebohongan, keburukan dan kebencian tentunya.

Hawa Nafsu penyebab Arogansi

Kesombongan adalah dosa pertama yang dilakukan Iblis laknatullah dalam bermaksiat kepada Allah Swt. Kesombongan (baca: arogansi) itu muncul dari sebab mengikuti hawa nafsu, karena memang hawa nafsu itu mengajak menuju ketinggian dan kemuliaan di muka bumi. Dalam surah Al Baqarah 2:87 Allah Swt berfirman: “Apakah setiap datang kepadamu seorang Rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu menyombong; Maka beberapa orang (diantara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh?”. Rasulullah SAW telah menjelaskan hakikat kesombongan dalam hadits: “Kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia” (HR. Muslim dari ‘Abdullah bin Mas’ûd)

Inilah yang membedakan takabbur (arogansi) dari sifat ‘ujub (membanggakan diri, silau dengan diri sendiri). Sifat ‘ujub, hanya membanggakan diri tanpa meremehkan orang. Sedangkan takabbur, disamping membanggakan diri juga meremehkan orang dan menolak kebenaran.

Dengan menjalankan puasa -baik puasa wajib pada bulan Ramadhan maupun puasa sunnah- hakikatnya adalah berlatih untuk pengendalian diri dari nafsu bahimiyah (kebinatangan), nafsu syaithaniyah dan nafsu yang lainnya. Akhirul kalam, puasa bagaimana yang dapat menangkal hoax dan arogansi? Tentu saja puasa seperti yang diajarkan oleh Allah lewat Rasul-Nya. Yakni puasa yang dilakukan dengan sepenuh keikhlasan, bukan keterpaksaan karena diwajibkan saja. Juga puasa yang melatih kontrol diri secara emosional sehingga memunculkan perilaku yang baik dalam kesehariannya dan konsistensi (istiqamah). “Barangsiapa yang dengan ikhlas mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui’’(QS. Al Baqarah 2: 184). Wallahu A`lam.

Share this Post: