Prodi

BERAGAMA SECARA PRODUKTIF DALAM KONTEKS NKRI

Oleh Dr. Nur Aris, M.Ag.

 

Puasa Ramadan tahun ini, perlu dijadikan momen untuk merenungkan kembali alasan keberadaan agama Islam di muka bumi ini, yakni untuk menghadirkan rahmat bagi kehidupan umat manusia. Dalam surat al-Anbiya’ dapat dipahami bahwa “Allah swt tidak mengutus Nabi Muhammad, kecuali hanya sebagai rahmat bagi alam semesta” (Q.S. al-Anbiya’ (21): 107). Jadi, tujuan utama beragama Islam adalah menghadirkan rahmat kepada alam semesta ini, yang sekaligus merupakan milestone puncak produktifitas keberagamaan seorang muslim. Indikator utama hadirnya rahmat di muka Bumi ini paling tidak ada lima, sebagaimana pendapat ulama Ushul Fikih. Lima indikator utama tersebut sering pula disebut dengan istilah al-dharuriyyat al-khamsah. Lima dharuriyyat ini terdiri dari hifdzu al-diin (terjanganya agama manusia), hifdzu al-nafs (terjaganya keselematan jiwa dan raga manusia), hifdzu al-maal (terjaganya harta benda manusia), hifdzu al-nasl (terjaganya garis nasab manusia) dan hifdzu al-‘aql (terjaganya akal sehat manusia). 

Lima indikator utama beragama nan mulia tersebut harusnya mewarnai seluruh perilaku keberagamaan seorang muslim. Jika perilaku beragama seorang muslim telah memenuhi lima indicator tesebut, maka dapat dikatakan dirinya telah sukses beragama Islam. Jadi, siapa saja dalam beragama Islam tidak pada rel rahmatan lil’alamin, maka dia tidak akan sampai pada tujuan beragama Islam itu sendiri.

Secara umum, seluruh ajaran Islam yang disampaikan Rasulullah melalui para Sahabat yang dilanjutkan oleh para ulama melalui pemikiran ijtihad mereka dalam kitab-kitab fikih harus ditempatkan pada posisi sebagai sarana untuk mencapai indikator utama rahmatan lilalamin. Misalnya. Bab qishash adalah sarana untuk mencapai terjaganya keselamatan jiwa dan raga manusia, bab hukum muamalah adalah sarana untuk mencapai terjaganya harta manusia, bab hukum perzinaan dan hudud-nya adalah sarana untuk mencapai terjaganya nasab manusia, bab aqidah dan iman adalah sarana untuk mencapai tejaganya agama manusia, dan bab hukum khamr adalah sarana untuk mencapai terjaganya akal manusia.  

Fikih sebagai hasil ijtihad para ulama terdahulu memiliki konteksnya sendiri, sehingga fikih memungkinkan untuk selalu berkembang sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi yang melingkupinya. Sebagai contoh, fikih siyasah (politik) hasil ijtihad dari tokoh besar Imam al-Mawardi disusun dalam konteks negara khilafah atau kesultanan. Fikih yang beliau susun adalah wujud respons beliau dalam konteks politik negara saat itu (khilafah/kesultanan/keemiran/kerajaan). Oleh karena itu, tidak bisa serta merta, konsep-konsep siyasah dalam kitab fikih beliau digunakan dalam konteks politik negara di masa kini. Saat itu belum dikenal konep nation-state, atau negara bangsa berbasis demokrasi, pembatasan periode jabatan, dan lain-lain. 

Meskipun begitu, masih banyak ide-ide dasar normative yang relevan dalam konteks sekarang. Contoh norma dasar dalam fikih siyasah yang masih relevan dalam konteks nation state seperti sekarang, pertama adalah nilai-nilai demokratis (syura atau musyawarah). Musyawarah adalah inti sila ke-4 dari pancasila yang menjadi dasar negara kita, yakni kepemimpinan dengan hikmah (penuh wisdom) dalam permusyawaratan perwakilan. 

Norma dasar yang kedua adalah ketaatan kepada ulil amri (pemimpin negara). Ada kaidah fikih yang menyatakan “hukmul hakim yarfa’ul khilaf”. Kaidah ini mengandung pengertian bahwa keputusan pemimpin adalah menghilangkan khilaf (perselisihan). Kaidah ini akan berfungsi manakala ada ketaatan kepada pemimpin. Tanpa itu, maka khilaf atau perselisihan akan semakin melebar dan membesar.

Norma dasar selanjutnya adalah kaidah fikih siyasah yang menyatakan: “tasharruful imam ‘alaa ra’iyyah manuthun bil maslahah”. Kaidah ini mengandung pengertian bahwa aturan hukum yang dibuat lembaga legislatif, dan kebijakan pemimpin negara harus mengacu secara umum kepada kemaslahatan, kebaikan, ketentaraman, ketertiban warga negara atau rakyat indonesia yang binneka, bukan kemasalahatan kelompok masyarakat tertentu apalagi individu tertentu.

Itulah beberapa norma dasar syariat dalam fikih siyasah yang dapat dijadikan acuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini. Norma dasar ini melingkupi seluruh peraturan perundangan yang ada di negara kesatuan republik indonesia tercinta ini. Karena, pada hakekatnya hukum pidana, hukum perdata dan hukum acara adalah sarana untuk mencapai terjaganya lima daruriyat yang telah disebutkan tadi. Kalaupun masih terdapat kekurangan di dalamnya, itu adalah hal yang biasa sebagai sebuah proses. Hasil ijtihad, baik dalam bentuk fikih ataupun perundangan bersifat nisbi atau relatif. Semua kebijakan pasti ada kelebihan dan kekurangannya. Sehingga masih terbuka peluang yang sangat lebar untuk penyempurnaannya. Kalau harus menunggu sesuatu kebijakan harus sempurna, maka tidak akan pernah bisa diperoleh satu kebijakan pun. Keberadaan kebijakan pemimpin dan peraturan perundangan meskipun tidak sempurna, itu jauh lebih baik daripada tidak ada kebijakan atau peraturan perundangan sama sekali. Kaidah fikih mengatakan: “maa laa yudraku kulluhu, laa yutraku kulluhu”. Kaidah ini mengandung pengertian, “sesuatu yang tidak dapat dicapai secara keseluruhan (100%), maka janganlah yang tidak sempurna (<100%), ditinggalkan”. Terimalah itu, meskipun tidak sempurna, itu lebih jauh lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Wallahu a’lam bi al-shawaab.



Share this Post: